Candi Sukuh, Piramida Suku Maya Indonesia
Candi Sukuh, Konon bentuknya sangat mirip dengan Piramida milik suku maya di Amerika Selatan |
Tiket masuk Rp 7.000, 00 Murah meriah untuk hal yang spektakuler menurut saya. Kenapa ? karena seakan kita seolah melihat piramida suku maya, bentuk bangunan trapesium, tentunya sangat berbeda dengan candi prambanan atau borobudur, tapi menurut saya candi ini benar-benar layak untuk di kunjungi.
eh iya, ketika masuk candi ini, pengunjung juga dimohon untuk memakai kain jarik dan bersikap sopan santun karena tempat ini juga merupakan tempat ibadah agama hindu,
Referensi lain : Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang
secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar,Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu
karena ditemukannya objek pujaan lingga dan yoni. Candi ini dianggap
kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena penggambaran
alat-alat kelamin manusia secara eksplisit pada beberapa figurnya.
Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah
satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa
pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen
Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk
mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa
pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog
Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada
ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat
07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini
terletak di Dukuh Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari
kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang
mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh
berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya
yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh
cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan
budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan
bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog
termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba
menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat
Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan
dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga
kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan
Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki
gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun
tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab
batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit..
Keindahan Candi Sukuh |
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini
ada sebuah sengkala memet dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta aban wong
("raksasa gapura memangsa manusia"), yang masing-masing memiliki
makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 (Saka) (1437
Masehi). Angka tahun ini sering dianggap sebagai tahun berdirinya candi ini,
meskipun lebih mungkin adalah tahun selesainya dibangun gapura ini. Di sisi
sebelahnya juga terdapat relief sengkala memet berwujud gajah bersorban yang
menggigit ekor ular. Ini dianggap melambangkan bunyi gapura buta anahut buntut
("raksasa gapura menggigit ekor"), yang juga dapat ditafsirkan
sebagai 1359 Saka.
Gapura pada teras kedua
sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau
dwarapala yang biasa ada, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas
bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak terdapat
banyak patung-patung. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala dalam bahasa
Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut yang berarti “Gajah pendeta menggigit ekor” dalam
bahasa Indonesia. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik
maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi
induk dan beberapa panel berelief di sebelah kiri serta patung-patung di
sebelah kanan.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah
bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini
terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat
masih sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian
panel dengan relief yang menceritakan mitologi utama Candi Sukuh, Kidung
Sudamala.